BATAS
Writen by Arief Darmawan
@2016-02-16
“semua awalnya ku pikir tidaklah
penting.
Ketika aku memutar balikan
fiktif, ditelingaku telah bermuara bisikan-bisikan.
Tentang bagaimana menjadi seorang
yang memilih untuk diam dengan dada yang di penuhi samudra.
Apakah aku terlalu egois ?
menurutku tidak.
Menyamankan diri di hadapan sabda-sabda
bukanlah tujuannya.
Jauh sebelum itu terjawab, aku
telah melalui kesempatan.
Sampai ketika terbuka mata, letih
ini membuatku tergoyah untuk melangkah dan sembuhkan luka”
Di tanah basah, ditengah jalan setapak, dan bau
rumput basah dengan hawa dingin di sekeliling Galih masih samar. Dia belum bisa
menerjemahkan keadaan dimana dia seperti tersesat. Tetapi, dia mencoba membaur. Berada di hutan,
tempat dengan beribu sunyi yang dia inginkan semua ada disitu. Ya, dia dihutan.
Entah apa yang bisa membawa dia ke hutan. Tapi disitulah dia berada.
Terbaring dengan baju lusuh, beberapa alunan nada
sendu dari biola masih terdengar. Rasa pusing di kepala semakin mendesak waktu,
akhirnya Galih bangun dan memutuskan untuk berdiri. Lalu, dengan resah dan nafas terngah-engah ia
berjalan menyusuri semak belukar dimana jalan yang terdapat di hutan hanyalah
itu.
“sejauh ini, keberadaaan nyawa
setiap manusia di bumi masih belum dapat di mengerti sebagian manusia.
Ada yang mengaggapnya pengalaman
dan bermunajat untuk mendapat hikmah,
dan ada kata sabda kepada api
yang menyuruh tunduk seraya meneriaki di bawah benderanya.
Tapi aku tidak.
Aku ingin bebas dari segala
merdeka dan segala iba.
Dengan aku tersesat mungkin ada
penantian untuk di temukan.
Tapi itu mungkin. Sebab yang kita
jalani bukanlah kita yang menjalaninya”
Monolog
dalam batin yangia mengira akan ada yang
mendengarnya semakin membuatnya merasa mulai bercerita dengan dirinya sendiri.
Keyakinannya terhadap keberadaannya sekarang akhirnya semakin tergoyah karena dalam beberapa
jarak dari pandangannya di balik semak ada sesosok wanita berambut panjang dengan baju
merah darah yang memainkan biola di bawah pohon. Galih duduk, dan mengamati
sosok wanita itu dari balik semak-semak. Dia menyangka ini halusiansi. Meski
berpura-pura ini tidak terjadi, tetapi tatapan sosok wanita itu terlalu tajam
untuk ia hindari. Ketika sosok wanita itu berhenti memainkan biola, mata wanita
itu menatap Galih dalam-dalam di balik semak. Galih tersentak, Tak menyangka
ketika dia berusah menutupi diri, sosok wanita itu malah menghilang. Pikirannya
pun mulai merasa di hantui ketidak pastian akan keberadaannya.
Galih mulai
cemas dengan sosok wanita itu karena terasa begitu nyata. Dia terkejut,
dan merasa ketakutan ketika biola yang dimainkan sosok wanita itu ternyata sudah
berada di tangannya. Dia segara meletakannya ke tanah dan menyikir dari biola
itu.
“nggak!! ini nggak nyata..
enggak!! INI BUKAN AKU!!” nafasnya semakin terengah-engah setengah tidak
percaya setelah menaruh biola dengan matanya berkeliaran yang mencari sosok
wanita itu di sekelilingnya. Tetapi hanya kekosongan yang ia temukan. Galih
merangkak menjauhi biola tanpa melepas pandangannya dari biola. Setelah agak
jauh, dia buru-buru berdiri dan ingin segera pergi jauh dari biola. Dengan
perasaan yang diliputi beribu pertanyaan, dia mencari tahu apa yang terjadi,
kenapa dirinya bisa berada di hutan.
Galih kembali berdiri dan berjalan menyusuri jalan
setapak, ia mendengar samar-samar kaki yang berayun seperti melompat-lompat.
Galih berhenti berjalan dan berdiri dengan mata tertuju pada laki-laki muda
dengan topeng dan selendang coklat tua di perutnya yang mengenakan baju putih
dan celana hitam kusam. Laki-laki itu menari, dan Ia pun tertegun melihatnya.
Ketika serius dan tatapannya semakin dalam, tiba-tiba laki-laki itu bertanya,“ngapain kamu disni?
Galih sontak kaget dan tidak melepas pandanggannya terhadap laki-laki
itu, seakan laki-laki itu tau kedatangannya.
“apa yang kamu cari?” sambil
berhenti menari laki-laki itu berbalik badan dan menatap Galih tajam.
“kamu seharusnya bisa membawa
dirimu sendiri ke jalan pulang” laki-laki itu berkata dengan yakin.
“apa itu tujuannya?” Galih
mencoba bertukar pikiran dengan maksud mematahkan perkataan laki-laki itu.
“aku nggak pernah bener-bener
tahu, dimana aku disini. Apa aku harus ngerti? Siapa kamu? Haruskah aku tau
jalan pulang?”
Laki-laki itu diam dan pergi membelakanginya dengan setengah menengok
dengan berkata
“jalan di buat untuk di lalui.
Apakah kamu di haruskan untuk melewati jalan itu?”
Lalu laki-laki itu pergi dan masih
samar-samar Galih melihat topeng yang di lepas dari laki-laki itu. Tanpa
sadar, dan tidak ada sebab yang Galih tahu ternyata topeng dan selendang
laki-laki itu sudah ada pada dirinya. Galih setengah gila dan stres mengalami
kejadian yang tak ia duga ini. Kemudian ia berjalan mudur dua tiga langkah dan
bersandar di pohon kemudian duduk dengan pelan. Ia meletakan topeng dan
selendang di sampingnya. Beraharap kejadian ini tidak berlanjut, Galih menutup
matanya dengan kedua tangannya dan menarik nafas panjang. Setelah membuka
matanya kembali, yang terdengar hanya kesunyian.
Galih berdiri berniat untuk kembali mencari jalan
keluar. Tapi setelah beberapa langkah di depannya terlihat sosok wanita pemain
biola sedang duduk di depan kanvas dengan seorang laki-laki penari yang berada di hadapan
wanita itu. Sosok wanita pemain biola itu terlihat sedang melukis laki-laki penari
itu. Galih hanya bisa melihat di kejauhan. Dengan berusaha menyembunyikan
dirinya agar tidak ketahuan kalau dia sedang mengamati dua orang itu, tak lama
kemudian mereka berdua terlihat terlibat dalam perdebaan. Antara mereka berdua
menunjukan ada sesuatu hal yang sangat perih sehingga mereka mulai membanting
kanvas dan alat lukisnya sampai ketika tiba-tiba, dari arah kiri Galih
terdengar langkah kaki yang berhenti tepat di sampingnya. Galih melihat sosok
yang tidak pernah bisa ia duga. Sosok yang berhadapan dengannya saat ini adalah
dirinya sendiri dalam pandangan nyata di hadapan matanya. Sosok dirinya melihatnya
dengan senyum ramah dan berkata “aku dsini, masih selalu nunggu. Sudahlah
galih, lepaskan. Hidupmu lebih dari ini”. Lalu, sosok dirinya memegang
pundaknya dan kemudian pergi
membelakangi galih dan semakin jauh. Galih masih kebingungan, akhirnya dia
kembali menengok ke arah laki-laki penari dan wanita pemain biola yang melukis.
Mereka berdua sudah berdiri menatapnya dari kejauhan dan tersenyum.
Akhirnya, Galih sadar kalau dia memiliki jiwa yang
benar-benar dirinya sendiri dalam keadaan yang nyata. Yang perlu ia lakukan
adalah tetap menjalani kehidupan dengan menjadi dirinya sendiri tanpa berusaha
merubahnya menjadi orang lain. Perlahan-laham matanya berat dan serasa ingin
menutup. Kemudian ia terjatuh dan akhirnya terpejam.
“di hadapan diriku sendiri, aku adalah mitos.
Keyakinan dengan penuh egois dan amarah di hadapan argume, bukanlah aku. Selama ini aku tak pernah punya
penyelesaian untuk diriku sendiri. Sepi
di dalam sini, bukan tentang tak bergerak kemudian berusaha melepasnya. Aku
ingin bebas dari segala merdeka dan segala iba, hingga dilema tak lagi
meradang. Cinta dan luka, sempitkan ruang berkata. Baik buruk semua
terawasi. Keyakinan adalah langkah jiwa
yang berarti untuk memilih antara bahagia atau kecewa. Disisi manapun jiwa akan
hidup."
naskah-naskah terlupa, feb 2016
@arf_drmwn