Senin, 29 Februari 2016

SATU SAPA SISI

kita dulu adalah rumah
lalu datang gegabah
kemudian hanya tinggal kami
sehingga tumpuan berkabung iri
sebagai nestapa
begitu lebih akrabnya
Dan..
bertubi kemudian kepada kami
seperti hujan bukan seorang diri
tak lagi bernanah
tak lagi berdarah
sebagai tanya yang berkarat
kami bimbang bermunajat
lagi..
kami hanya tinggal luka
dengan terhantam lalu terlupa
terkuliti cerita
tak lagi di sapa.


Naskah Terlupa, februari 2016
@arf_drmwn "memahami kosong"

Jumat, 26 Februari 2016

SIAPA KITA DI ANTARA KAMI

         SIAPA KITA DI ANTARA KAMI

“atau mungkin hanya sekadar kalimat
yang kemudian pergi perang layaknya leonidas
untuk kemudian lupa kalau dilupakan di medan perang
adalah hal yang lebih dalam
ketimbang menanam jagung di petik tetangga”

samar-samar tapi tanpa filter kemudian nyata, ungkapan itu menjadi tak gentar memunculkan diri di otakku. Karena berada mungkin menjadikan kita semakin timbul rasa penolakan-penolakan terhadap kritisnya pergejolakan batin antar kita, aku, kamu, dan mereka. Bukankah hakim yang bersabdalah yang berpengaruh? tapi ini tidak. Kebencianku mengakar pada setiap luka-luka kecil yang dalam kejadian nyata di sebut sebagai “bersahabat” , inilah yang berpengaruh membentuk pribadi dengan karakter kejadian serupa, dimana setiap manusia menuhankan ketertarikan hidup dengan berdampingan dan saling bergantung.
“dan budak kini tak lagi berdebat.
sebab terlalu banyak yang meninggalkannya
hampir mati
terpanggang di pelataran,
menjadikannya hilang harapan
ketika raja ke raja bergantian
ia suguhi
meski sang raja akhirnya pergi
perang, lalu mati”

Tiba-tiba, sendiran dan sunyi lebih menyamankanku. Membentukku berbiasa saja.

Narasi Terlupa, februari 2016.
@arf_drmwn - “Memahami Kosong”

Sabtu, 20 Februari 2016

BATAS



BATAS







Writen by Arief Darmawan








@2016-02-16



semua awalnya ku pikir tidaklah penting.
Ketika aku memutar balikan fiktif, ditelingaku telah bermuara bisikan-bisikan.
Tentang bagaimana menjadi seorang yang memilih untuk diam dengan dada yang di penuhi samudra.
Apakah aku terlalu egois ? menurutku tidak.
Menyamankan diri di hadapan sabda-sabda bukanlah tujuannya.
Jauh sebelum itu terjawab, aku telah melalui kesempatan.
Sampai ketika terbuka mata, letih ini membuatku tergoyah untuk melangkah dan sembuhkan luka
Di tanah basah, ditengah jalan setapak, dan bau rumput basah dengan hawa dingin di sekeliling Galih masih samar. Dia belum bisa menerjemahkan keadaan dimana dia seperti tersesat.  Tetapi, dia mencoba membaur. Berada di hutan, tempat dengan beribu sunyi yang dia inginkan semua ada disitu. Ya, dia dihutan. Entah apa yang bisa membawa dia ke hutan. Tapi disitulah dia berada.
Terbaring dengan baju lusuh, beberapa alunan nada sendu dari biola masih terdengar. Rasa pusing di kepala semakin mendesak waktu, akhirnya Galih bangun dan memutuskan untuk berdiri. Lalu,  dengan resah dan nafas terngah-engah ia berjalan menyusuri semak belukar dimana jalan yang terdapat di hutan hanyalah itu.
“sejauh ini, keberadaaan nyawa setiap manusia di bumi masih belum dapat di mengerti sebagian manusia.
Ada yang mengaggapnya pengalaman dan bermunajat untuk mendapat hikmah,
dan ada kata sabda kepada api yang menyuruh tunduk seraya meneriaki di bawah benderanya.
Tapi aku tidak.
Aku ingin bebas dari segala merdeka dan segala iba.
Dengan aku tersesat mungkin ada penantian untuk di temukan.
Tapi itu mungkin. Sebab yang kita jalani bukanlah kita yang menjalaninya”
Monolog dalam batin yangia  mengira akan ada yang mendengarnya semakin membuatnya merasa mulai bercerita dengan dirinya sendiri. Keyakinannya terhadap keberadaannya sekarang  akhirnya semakin tergoyah karena dalam beberapa jarak dari pandangannya di balik semak ada  sesosok wanita berambut panjang dengan baju merah darah yang memainkan biola di bawah pohon. Galih duduk, dan mengamati sosok wanita itu dari balik semak-semak. Dia menyangka ini halusiansi. Meski berpura-pura ini tidak terjadi, tetapi tatapan sosok wanita itu terlalu tajam untuk ia hindari. Ketika sosok wanita itu berhenti memainkan biola, mata wanita itu menatap Galih dalam-dalam di balik semak. Galih tersentak, Tak menyangka ketika dia berusah menutupi diri, sosok wanita itu malah menghilang. Pikirannya pun mulai merasa di hantui ketidak pastian akan keberadaannya.
Galih mulai  cemas dengan sosok wanita itu karena terasa begitu nyata. Dia terkejut, dan merasa ketakutan ketika biola yang dimainkan sosok wanita itu ternyata sudah berada di tangannya. Dia segara meletakannya ke tanah dan menyikir dari biola itu.
nggak!! ini nggak nyata.. enggak!! INI BUKAN AKU!!” nafasnya semakin terengah-engah setengah tidak percaya setelah menaruh biola dengan matanya berkeliaran yang mencari sosok wanita itu di sekelilingnya. Tetapi hanya kekosongan yang ia temukan. Galih merangkak menjauhi biola tanpa melepas pandangannya dari biola. Setelah agak jauh, dia buru-buru berdiri dan ingin segera pergi jauh dari biola. Dengan perasaan yang diliputi beribu pertanyaan, dia mencari tahu apa yang terjadi, kenapa dirinya bisa berada di hutan.
Galih kembali berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak, ia mendengar samar-samar kaki yang berayun seperti melompat-lompat. Galih berhenti berjalan dan berdiri dengan mata tertuju pada laki-laki muda dengan topeng dan selendang coklat tua di perutnya yang mengenakan baju putih dan celana hitam kusam. Laki-laki itu menari, dan Ia pun tertegun melihatnya. Ketika serius dan tatapannya semakin dalam, tiba-tiba laki-laki itu bertanya,“ngapain kamu disni?
Galih sontak kaget dan tidak melepas pandanggannya terhadap laki-laki itu, seakan laki-laki itu tau kedatangannya.
“apa yang kamu cari?” sambil berhenti menari laki-laki itu berbalik badan dan menatap Galih tajam.
“kamu seharusnya bisa membawa dirimu sendiri ke jalan pulang” laki-laki itu berkata dengan yakin.
apa itu tujuannya?” Galih mencoba bertukar pikiran dengan maksud mematahkan perkataan laki-laki itu.
“aku nggak pernah bener-bener tahu, dimana aku disini. Apa aku harus ngerti? Siapa kamu? Haruskah aku tau jalan pulang?”
Laki-laki itu diam dan pergi membelakanginya dengan setengah menengok dengan berkata
“jalan di buat untuk di lalui. Apakah kamu di haruskan untuk melewati jalan itu?”
Lalu laki-laki itu pergi dan masih  samar-samar Galih melihat topeng yang di lepas dari laki-laki itu. Tanpa sadar, dan tidak ada sebab yang Galih tahu ternyata topeng dan selendang laki-laki itu sudah ada pada dirinya. Galih setengah gila dan stres mengalami kejadian yang tak ia duga ini. Kemudian ia berjalan mudur dua tiga langkah dan bersandar di pohon kemudian duduk dengan pelan. Ia meletakan topeng dan selendang di sampingnya. Beraharap kejadian ini tidak berlanjut, Galih menutup matanya dengan kedua tangannya dan menarik nafas panjang. Setelah membuka matanya kembali, yang terdengar hanya kesunyian.
Galih berdiri berniat untuk kembali mencari jalan keluar. Tapi setelah beberapa langkah di depannya terlihat sosok wanita pemain biola sedang duduk di depan kanvas dengan seorang  laki-laki penari yang berada di hadapan wanita itu. Sosok wanita pemain biola itu terlihat sedang melukis laki-laki penari itu. Galih hanya bisa melihat di kejauhan. Dengan berusaha menyembunyikan dirinya agar tidak ketahuan kalau dia sedang mengamati dua orang itu, tak lama kemudian mereka berdua terlihat terlibat dalam perdebaan. Antara mereka berdua menunjukan ada sesuatu hal yang sangat perih sehingga mereka mulai membanting kanvas dan alat lukisnya sampai ketika tiba-tiba, dari arah kiri Galih terdengar langkah kaki yang berhenti tepat di sampingnya. Galih melihat sosok yang tidak pernah bisa ia duga. Sosok yang berhadapan dengannya saat ini adalah dirinya sendiri dalam pandangan nyata di hadapan matanya. Sosok dirinya melihatnya dengan senyum ramah dan berkata “aku dsini, masih selalu nunggu. Sudahlah galih, lepaskan. Hidupmu lebih dari ini”. Lalu, sosok dirinya memegang pundaknya dan  kemudian pergi membelakangi galih dan semakin jauh. Galih masih kebingungan, akhirnya dia kembali menengok ke arah laki-laki penari dan wanita pemain biola yang melukis. Mereka berdua sudah berdiri menatapnya dari kejauhan dan tersenyum.
Akhirnya, Galih sadar kalau dia memiliki jiwa yang benar-benar dirinya sendiri dalam keadaan yang nyata. Yang perlu ia lakukan adalah tetap menjalani kehidupan dengan menjadi dirinya sendiri tanpa berusaha merubahnya menjadi orang lain. Perlahan-laham matanya berat dan serasa ingin menutup. Kemudian ia terjatuh dan akhirnya terpejam.
“di hadapan diriku sendiri, aku adalah mitos. Keyakinan dengan penuh egois dan amarah di hadapan argume,  bukanlah aku. Selama ini aku tak pernah punya penyelesaian untuk diriku sendiri.  Sepi di dalam sini, bukan tentang tak bergerak kemudian berusaha melepasnya. Aku ingin bebas dari segala merdeka dan segala iba, hingga dilema tak lagi meradang. Cinta dan luka, sempitkan ruang berkata. Baik buruk semua terawasi.  Keyakinan adalah langkah jiwa yang berarti untuk memilih antara bahagia atau kecewa. Disisi manapun jiwa akan hidup."

naskah-naskah terlupa, feb 2016
@arf_drmwn